TANPA NARASI BESAR PEMBANGUNAN PANGAN

Oleh:

Rafnel Azhari

Dosen Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Unand

dan Peneliti Pusat Pembangunan Pangan Inklusif Unand

 

Beberapa waktu yang lalu, tiba-tiba Keong sawah dan daging Sapi menjadi percakapan publik, terutama di media sosial kita. Semua ini berawal dari komentar Menteri Pertanian yang menanggapi mahalnya daging Sapi dan ia mengajukan usul untuk mengganti sumber protein daging Sapi ke Keong Sawah. Beragam reaksi publik muncul, ada yang marah, ada yang menjadikan ini sebagai guyonan sehingga beragam meme soal Keong Sawah menghiasi media sosial. Pakar gizi ikut berkomentar dan ia menyatakan mengganti  daging Sapi menjadi Keong Sawah bukanlah ide yang bagus. Saya memaknai ini sebagai kegalauan kita menghadapai situasi dan sekaligus menunjukkan tidak adanya narasi besar pembangunan pangan nasional.

Saya ingin ingatkan kepada kita semua, pemenuhan pangan setiap warga negara adalah kewajiban negara, karena itu bahkan pangan diatur menjadi hak asasi manusia. Negara sejatinya diperintahkan untuk mengurus pangan rakyat dengan benar, karena bukan hanya soal hidup atau mati satu individu saja tetapi juga soal masa depan negara dan bangsa itu sendiri.  Bung Karno ketika peletakkan batu pertama IPB telah menyadari hal ini dengan amat baik. Jauh sebelum itu ketika zaman penjajahan Belanda, telah dibentuk lembaga pangan yang diberi nama Stichting Het Voedingsmidlenfonds (VMS) yakni sebuah institusi yang mengurus distribusi dan logistik beras. Ini adalah bentuk kesadaran bahwa masalah pangan amat penting dan memerlukan pengaturan khusus dari pemerintah. Di era reformasi, kita melahirkan Undang-Undang Pangan yang secara tegas mengamanatkan juga pembentukan badan pangan nasional setingkat kementerian, yang sampai hari ini belum mampu diwujudkan pemerintah.

Anggaran sektor pertanian selama era Jokowi-JK praktis selalu mengalami peningkatan. Namun ironinya adalah anggaran yang besar nampaknya tidak efisien. Mentri koordinator perekonomian menyebutkan bahwa, 50 triliun rupiah lebih pertahun dihabiskan untuk membiayai program-program pertanian, terutama dalam meningkatkan produktivitas pada komoditi-komoditi strategis, akan tetapi efisiensinya dikritik oleh banyak pihak, bahkan oleh Menteri perekonomian sendiri yang menyebutkan anggaran besar disektor pertanian tidak sebanding dengan hasil yang didapatkan.

Langkah Perbaikan

Saya ingin menawarkan perbaikan cara kita mengelola pertanian dan pangan dari hal yang fundamental dan hulu, yakni proses manajemen pengetahuan dan inovasi. Pada konteks tersebut minimal terdapat beberapa hal yang perlu menjadi penekanan kita. Pertama adalah pembenahan cara pandang kita terhadap pertanian. Jepang dan Amerika Serikat adalah contoh yang baik dalam membangun cara pandang terhadap pertanian. Jepang sejak tahun 1600 menempatkan petani pada stratifikasi sosial yang penting dalam masyarakatnya. Petani berada pada posisi yang lebih tinggi dari industriawan dan pedagang. Presiden Amerika Serikat Franklin D Roosevelt (FDR) membuat apa yang disebut “Agricultural Adjustment Act 1933 yang menjadi landasan utama bagi kekuatan pangan Amerika Serikat dan kesejahteraan petaninya. Kita memerlukan kesadaran bersama bahwa petani dan pertanian adalah penting, sehingga kita menyadari betul bahwa kontribusi pertanian bukan hanya pada PDB tetapi pada sifat keunikannya yang tidak bisa dimiliki oleh sektor lain.  Studi Wanki Moon (2011) menunjukkan keunikan dan pentingnya sektor pertanian, diantaranya:  (a) produksi pertanian secara kolektif terkait dengan barang dan jasa non market (lahan, air, biodiversitas, hutan) baik ditingkat lokal maupun nasional; (b) pertanian terasosiasi dengan isu-isu kemanusian, seperti perubahan iklim, kesinambungan dan ketahanan pangan itu sendiri.

 Selanjutnya negara perlu dengan sungguh-sungguh  berinvenstasi dan mengelola dengan baik kegiatan Riset, Development dan Edukasi (RDE). Pengetahuan dan inovasi yang terkelola dengan baik akan memberikan kita kapasitas untuk menyelesaikan problem pangan kita. Inovasi adalah kata kunci dari proses memajukan sektor pangan. Namun kita memerlukan inovasi yang inklusif, yakni inovasi yang sesuai dengan kebutuhan petani serta tidak hanya bersifat teknis.  Kita harus fokus dan mengutamakan inovasi untuk petani kecil jangan berambisi inovasi untuk industri, kalau persoalan inovasi dan pengetahuan untuk pertanian rakyat tidak kita urus dengan benar.

            Kita senang, ketika pertanian dan pangan ditempatkan dalam bagian penting pada Nawacita Jokowi-JK, tetapi itu saja tidak cukup, kita memerlukan peta jalan sistem pembangunan pangan nasional untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Tanpa itu semua, ruang publik kita hanya akan diisi oleh komentar-komentar tanpa pikiran yang tidak akan pernah membuat kita bergerak maju menghadapi tantangan zaman yang terus berubah. Semoga kita semua sadar, kita perlu narasi, kita sudah lelah dengan ocehan.

           

SESULIT APA MENSEJAHTERAKAN PETANI?

Oleh:

Rafnel Azhari

Dosen Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Unand dan Peneliti Pusat Pembangunan Pangan Inklusif Unand

  

Setiap kali data Badan Pusat Statistik (BPS) soal kemiskinan dikeluarkan, maka kita akan menemukan satu fakta bahwa penduduk disektor pertanian selalu lebih miskin dibandingkan penduduk yang sumber utama pendapatannya dari sektor lain. Kepala BPS juga menyampaikan bahwa nilai tukar petani (NTP) tidak pernah menyentuh angka 115. Bahkan ditahun 2017 semua pihak prihatin dengan kecendrungan penurunan NTP. Tidak peduli rezim berganti berapa kalipun, petani nampaknya selalu menjadi pihak yang kalah. Sesungguhnya sesulit apa mensejahterakan petani? Dimana titik persoalan terberatnya?. Mari kita mencoba menyelaminya.

Scoot dan Popkin adalah dua ilmuwan yang yang sudah lama mencoba menjelaskan petani. Bagi Scoot petani adalah orang yang selalu mendahulukan selamat dan enggan mengambil resiko. Sifat ini yang disebut Scoot sebagai rasionalitas petani. Namun Popkin melihat berbeda. Popkin mengkritik Scoot yang mengartikan hal tersebut dengan amat sempit. Popkin mengatakan, fenomena yang disampaikan Scoot terjadi jika dalam kondisi mendesak saja. Bagi Popkin petani  adalah pihak yang terbuka terhadap pasar dan siap mengambil resiko sepanjang kesempatan untuk petani menjadi lebih baik diberikan. Bagi saya, jika kedua pandangan ini direfleksikan melihat petani Indonesia maka kita akan menemukan kebenaran keduanya. Rasionalitas petani ala Scoot maupun sifat petani yang disampaikan Popkin lebih disebabkan oleh dimensi struktural ketimbang karakter petani secara individu.

Dimensi Struktural; Basis Moral Pemimpin dan Problem Kebijakan

Setiap kali pemilihan umun dihelat, baik berupa Pilkada, Pilpres dan Pileg, petani adalah konstituen yang paling banyak menikmati taburan janji. Selain sebagai kelompok masyarakat terbesar, isu-isu diseputaran petani juga teramat seksi untuk mendulang suara. Disisi lain petani adalah kelompok yang teramat “lemah” dalam daya tawar politik, sehingga dengan mudah mereka suatu saat bisa ditinggalkan tanpa kesanggupan untuk menagih janji yang telah diberikan. Jikapun mereka berkelompok atau berserikat, kelompok petani yang sejati biasanya kecil-kecil tanpa bargaining position yang cukup. Kalau terdapat serikat petani besar, biasanya diisi para politisi dan pengusaha. Kesejatian petani tidaklah nampak disitu.

Ujian pertama dan sekaligus terpenting bagi petani sudah dimulai ditingkat memilih pemimpin. Jika seandainya mereka memilih pemimpin yang salah atau pemimpin dengan basis moral  yang akan menghalalkan penderitaan sebagian orang dan biasanya kelompok yang dinilai lemah untuk  suatu tujuan yang dianggap lebih penting maka petani akan menanggung akibat buruk selama 5 tahun atau bahkan lebih. Petani harus merelakan dirinya dikorbankan bahkan dikalahkan dalam pertarungan kebijakan nasional.

Kebijakan nasional yang mengalahkan petani dan memeras sektor pertanian bisa dengan gamblang kita lihat. Salah satunya, pemerintah memiliki kepentingan untuk membuat harga pangan rendah, agar bisa mendorong daya beli masayarakat lainnya, sehingga perekonomian tumbuh dan investor datang. Keseimbangan kepentingan antara produsen dan konsumen dalam konteks komoditi-komoditi pertanian cendrung lebih merugikan petani. Hal tersebut sudah dibuktikan oleh NTP yang tidak mampu merangsek naik.

Hal lain, kebijakan proteksi terhadap petani juga lemah dan cendrung abai dalam pelaksanaannya. Sebaliknya proses liberalisasi sektor pertanian terus berjalan guna menjadi sumber pendapatan baru. Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani yang telah dibuat pemerintah bersama DPR telihat mandeg dalam realisasinya. Studi yang dilakukan Syahyuti (2014) mengenai implementasi undang-undang ini menunjukkan  bahwa beberapa kebijakan berkaitan dengan organisasi petani belum ideal, sosialisasi undang-undang ini masih lemah, dan petani sendiri belum memahami kesempatan yang telah disediakan. Artinya kita belumlah serius mengurus soal perlindungan dan pemberdayaan petani meskipun telah menjadi sebuah regulasi.

Harapan Kedepan

Sesulit apa mensejahterakan petani?. Jawaban pertanyaan ini lebih terletak pada hambatan struktural bukan pada karakter-karakter perindividu petani. Sehingga dengan demikian, solusi yang bisa menjadi harapan kita juga adalah solusi yang mampu mengatasi persoalan struktural.

Pertama, petani harus mampu mengorganisir dirinya agar memiliki kekuatan dan daya tawar baik dihadapan pemerintah maupun dihadapan pasar. Petani di Jepang adalah contoh baik dalam kemampuan mereka mengorganisasikan diri. Sehingga di Jepang tumbuh koperasi-koperasi petani yang begitu kuat. Koperasi-koperasi petani di Jepang adalah wadah utama pendorong kesejahteraan petani. Pemerintah Jokowi-JK sekarang ini memang sedang mendorong apa yang disebut dengan korporasi petani. Tetapi sampai hari ini kita belum banyak mendengar konsep jelasnya.

Selanjutnya, petani sebagai kelompok pemilih yang besar, diharapkan mampu memilih pemimpin yang memiliki basis moral yang tidak akan  mengorbankan petani dalam kebijakan-kebijakannya. Kesadaran high politik seperti ini harus diperkenalkan kepada petani oleh semua orang yang masih memiliki mission bernegara sesuai konstitusi dan tidak diombang-ambing oleh interest-interest sempit dan pragmatis.

Terakhir kita berharap pada generasi milenial dan kemajuan teknologi. Kita sudah mulai merasakan, bagaimana keterlibatan generasi milenial disektor pertanian dengan kemampuan mereka menguasai teknologi telah mampu membantu petani dibanyak tempat. Mereka hadir dengan value yang tegak lurus. Mereka tidak memperdulikan kebijakan pemerintah yang cendrung menjadi kendala bagi kemajuan sektor pertanian. Mereka hadir dengan terobosan-terobosan digital dan The Intenet of Things (IoT). Melalui itu semua mereka mencoba memangkas mata rantai perdagangan yang merugikan petani, menyediakan permodalan dan sampai memberikan penyuluhan kepada petani.

Semoga dengan kesemua itu kesejahteraan petani semakin dekat, karena menyelesaikan persoalan petani adalah menyelesaikan separuh dari persoalan bangsa ini.