SESULIT APA MENSEJAHTERAKAN PETANI?

Oleh:

Rafnel Azhari

Dosen Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Unand dan Peneliti Pusat Pembangunan Pangan Inklusif Unand

  

Setiap kali data Badan Pusat Statistik (BPS) soal kemiskinan dikeluarkan, maka kita akan menemukan satu fakta bahwa penduduk disektor pertanian selalu lebih miskin dibandingkan penduduk yang sumber utama pendapatannya dari sektor lain. Kepala BPS juga menyampaikan bahwa nilai tukar petani (NTP) tidak pernah menyentuh angka 115. Bahkan ditahun 2017 semua pihak prihatin dengan kecendrungan penurunan NTP. Tidak peduli rezim berganti berapa kalipun, petani nampaknya selalu menjadi pihak yang kalah. Sesungguhnya sesulit apa mensejahterakan petani? Dimana titik persoalan terberatnya?. Mari kita mencoba menyelaminya.

Scoot dan Popkin adalah dua ilmuwan yang yang sudah lama mencoba menjelaskan petani. Bagi Scoot petani adalah orang yang selalu mendahulukan selamat dan enggan mengambil resiko. Sifat ini yang disebut Scoot sebagai rasionalitas petani. Namun Popkin melihat berbeda. Popkin mengkritik Scoot yang mengartikan hal tersebut dengan amat sempit. Popkin mengatakan, fenomena yang disampaikan Scoot terjadi jika dalam kondisi mendesak saja. Bagi Popkin petani  adalah pihak yang terbuka terhadap pasar dan siap mengambil resiko sepanjang kesempatan untuk petani menjadi lebih baik diberikan. Bagi saya, jika kedua pandangan ini direfleksikan melihat petani Indonesia maka kita akan menemukan kebenaran keduanya. Rasionalitas petani ala Scoot maupun sifat petani yang disampaikan Popkin lebih disebabkan oleh dimensi struktural ketimbang karakter petani secara individu.

Dimensi Struktural; Basis Moral Pemimpin dan Problem Kebijakan

Setiap kali pemilihan umun dihelat, baik berupa Pilkada, Pilpres dan Pileg, petani adalah konstituen yang paling banyak menikmati taburan janji. Selain sebagai kelompok masyarakat terbesar, isu-isu diseputaran petani juga teramat seksi untuk mendulang suara. Disisi lain petani adalah kelompok yang teramat “lemah” dalam daya tawar politik, sehingga dengan mudah mereka suatu saat bisa ditinggalkan tanpa kesanggupan untuk menagih janji yang telah diberikan. Jikapun mereka berkelompok atau berserikat, kelompok petani yang sejati biasanya kecil-kecil tanpa bargaining position yang cukup. Kalau terdapat serikat petani besar, biasanya diisi para politisi dan pengusaha. Kesejatian petani tidaklah nampak disitu.

Ujian pertama dan sekaligus terpenting bagi petani sudah dimulai ditingkat memilih pemimpin. Jika seandainya mereka memilih pemimpin yang salah atau pemimpin dengan basis moral  yang akan menghalalkan penderitaan sebagian orang dan biasanya kelompok yang dinilai lemah untuk  suatu tujuan yang dianggap lebih penting maka petani akan menanggung akibat buruk selama 5 tahun atau bahkan lebih. Petani harus merelakan dirinya dikorbankan bahkan dikalahkan dalam pertarungan kebijakan nasional.

Kebijakan nasional yang mengalahkan petani dan memeras sektor pertanian bisa dengan gamblang kita lihat. Salah satunya, pemerintah memiliki kepentingan untuk membuat harga pangan rendah, agar bisa mendorong daya beli masayarakat lainnya, sehingga perekonomian tumbuh dan investor datang. Keseimbangan kepentingan antara produsen dan konsumen dalam konteks komoditi-komoditi pertanian cendrung lebih merugikan petani. Hal tersebut sudah dibuktikan oleh NTP yang tidak mampu merangsek naik.

Hal lain, kebijakan proteksi terhadap petani juga lemah dan cendrung abai dalam pelaksanaannya. Sebaliknya proses liberalisasi sektor pertanian terus berjalan guna menjadi sumber pendapatan baru. Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani yang telah dibuat pemerintah bersama DPR telihat mandeg dalam realisasinya. Studi yang dilakukan Syahyuti (2014) mengenai implementasi undang-undang ini menunjukkan  bahwa beberapa kebijakan berkaitan dengan organisasi petani belum ideal, sosialisasi undang-undang ini masih lemah, dan petani sendiri belum memahami kesempatan yang telah disediakan. Artinya kita belumlah serius mengurus soal perlindungan dan pemberdayaan petani meskipun telah menjadi sebuah regulasi.

Harapan Kedepan

Sesulit apa mensejahterakan petani?. Jawaban pertanyaan ini lebih terletak pada hambatan struktural bukan pada karakter-karakter perindividu petani. Sehingga dengan demikian, solusi yang bisa menjadi harapan kita juga adalah solusi yang mampu mengatasi persoalan struktural.

Pertama, petani harus mampu mengorganisir dirinya agar memiliki kekuatan dan daya tawar baik dihadapan pemerintah maupun dihadapan pasar. Petani di Jepang adalah contoh baik dalam kemampuan mereka mengorganisasikan diri. Sehingga di Jepang tumbuh koperasi-koperasi petani yang begitu kuat. Koperasi-koperasi petani di Jepang adalah wadah utama pendorong kesejahteraan petani. Pemerintah Jokowi-JK sekarang ini memang sedang mendorong apa yang disebut dengan korporasi petani. Tetapi sampai hari ini kita belum banyak mendengar konsep jelasnya.

Selanjutnya, petani sebagai kelompok pemilih yang besar, diharapkan mampu memilih pemimpin yang memiliki basis moral yang tidak akan  mengorbankan petani dalam kebijakan-kebijakannya. Kesadaran high politik seperti ini harus diperkenalkan kepada petani oleh semua orang yang masih memiliki mission bernegara sesuai konstitusi dan tidak diombang-ambing oleh interest-interest sempit dan pragmatis.

Terakhir kita berharap pada generasi milenial dan kemajuan teknologi. Kita sudah mulai merasakan, bagaimana keterlibatan generasi milenial disektor pertanian dengan kemampuan mereka menguasai teknologi telah mampu membantu petani dibanyak tempat. Mereka hadir dengan value yang tegak lurus. Mereka tidak memperdulikan kebijakan pemerintah yang cendrung menjadi kendala bagi kemajuan sektor pertanian. Mereka hadir dengan terobosan-terobosan digital dan The Intenet of Things (IoT). Melalui itu semua mereka mencoba memangkas mata rantai perdagangan yang merugikan petani, menyediakan permodalan dan sampai memberikan penyuluhan kepada petani.

Semoga dengan kesemua itu kesejahteraan petani semakin dekat, karena menyelesaikan persoalan petani adalah menyelesaikan separuh dari persoalan bangsa ini.